Sabtu, 04 Maret 2017

Melirik Batu Persidangan di Huta Siallagan

RS - Sejak ratusan tahun lalu 'meja hijau' telah ada dan dipergunakan di huta yang berarti kampung, di Pulau Samosir, Sumatera Utara. Salah satu bukti sejarah tentang adanya persidangan sekaligus pemberian eksekusi hukuman di Pulau Samosir, masih berdiri kokoh di Huta Siallagan Desa Ambaruta, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir.

Batu persidangan di Huta Siallagan.
Bukti sejarah yang dimaksud berupa kursi batu persidangan disebut batu kursi Raja Siallagan atau stone chair of King Siallagan. Adapun Huta Siallagan sendiri seperti dikutip laman blog Samosir Culture and Lake Toba Tourism Batak atau SCALATOBA, oleh Raja Huta Siallagan secara bertahap; Raja Laga Siallagan dan diteruskan oleh keturunannya Raja Hendrik Siallagan.

Berada dalam kawasan kampung yang pembangunannya menggunakan batu-batu besar disusun bertingkat seperti tembok besar, di sini terdapat dua batu persidangan didua tempat berbeda namun tidak terlalu jauh jaraknya.

Batu kursi pertama, terdiri dari sejumlah kursi (terbuat dari batu) yang dilengkapi dengan sebuah meja dan juga terbuat dari batu. Tersedia kursi untuk raja dan permaisuri, para tetua adat, kursi raja dari huta atau kampung tetangga dan undangan serta datu atau pemilik ilmu kebatinan.

Disebutkan, batu kursi pertama ini dipergunakan sebagai tempat pertemuan Raja dan pengetua adat untuk membicarakan pelbagai peristiwa kehidupan warga di Huta Siallagan dan sekitarnya. Selain itu, juga menjadi tempat persidangan atau tempat mengadili sebuah perkara kejahatan.

Sebagai fungsinya untuk tempat mengadili, dilakukan proses investigasi serta introgasi kepada terdakwa. Terkait hal tersebut, para tetua dan raja dari huta tetangga, menyampaikan usulan mengenai jenis hukuman apa yang harus dikenakan kepada terdakwa oleh Raja Siallagan.

Hanya saja, penetapan hukumannya berdasarkan peraturan. Hukuman yang dimaksud mulai dari denda, penjara atau pasung, dan hukum mati dengan cara dipacung.

Hukuman denda biasanya dikenakan bagi yang melakukan kesalahan. Sementara hukuman penjara bagi yang melakukan kejahatan seperti pencuri, berkelahi, memfitnah. Di sisi lain hukuman mati, merupakan hukuman yang ditetapkan bagi seseorang yang berbuat kejahatan berat seperti membunuh dan memerkosa.

Nah, bagi yang terbukti melakukan kejahatan berat dalam persidangan, Raja Siallagan melanjutkan prosesnya. Raja menanyakan kepada Datu tentang hari yang tepat dalam pelaksanaan eksekusi mati berdasarkan kalender Batak.

Setelah ditetapkan hari eksekusi, proses selanjutnya ada di kursi batu kedua. Letak batu kursi kedua, letaknya tidak jauh dari batu kursi pertama dan masih terdapat dalam area Huta Siallagan yang luasnya diperkirakan 2.400 meter persegi dan lengkapi dengan pintu gerbang masuk dari sebelah barat dan keluar dari arah timur.  

Pada kursi batu kedua, terdapat juga kursi untuk Raja, para penasehat Raja dan tokoh adat termasuk masyarakat yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman mati.

Terdakwa dibawa oleh hulubalang Raja ke tempat eksekusi dengan mata tertutup menggunakan Ulos, Raja dan para penasehat raja serta masyarakat telah berkumpul, kemudian penjahat ditempatkan di atas meja batu besar, bajunya ditanggalkan.

Sebelum eksekusi dilaksanakan, atas perintah Raja, eksekutor yang juga Datu (memiliki ilmu gaib) lebih dahulu menanyakan keinginan atau permintaan terakhir dari sang penjahat. Jika tidak ada, selanjutnya eksekutor menanggalkan semua pakaian dari tubuh penjahat dan mengikat tangannya ke belakang.

Ditanggalkannya pakaian penjahat, konon, untuk mengetahui dan menghilangkan bila ada kekuatan gaib yang dimiliki terdakwa. Selanjutnya eksekusi hukuman dilakukan di atas batu yang terdapat dalam lingkaran batu kursi kedua.

Masih dari laman blog yang sama disebutkan, proses selanjutnya menancapkan kayu “Tunggal Panaluan” ke jantung penjahat, lalu jantung dan hati dikeluarkan dari tubuh penjahat dan darahnya ditampung dengan cawan. Hati dan jantung penjahat dicincang dan kemudian dimakan oleh Raja dan semua yang hadir, darahnya juga diminum bersama.

Hingga sebelum masuknya agama Kristen ke tanah Batak, menurut kepercayaan pada saat itu memakan bagian tubuh penjahat adalah menambah kekuatan dari mereka yang memakannya. Percaya atau tidak, ini hanya cerita yang terjadi masa dulu, hingga diawal abad ke 19. Dalam suasana seperti itu Sang Raja memerintahkan agar masyarakat tidak boleh menyentuh air danau selama satu sampai dua minggu, karena air masih najis dan berisi setan.

Laman direktori wisata menyebutkan terdapat pemadu wisata lokal yang menjelaskan cerita di atas kepada wisatawan baik lokal maupun asing bila membutuhkan pendampingan pemadu. Kisah yang disampaikan tersebut, bahkan dilakukan dengan cara teatrikal termasuk pada saat proses eksekusi di atas batu cekung. (RS/int)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar