Rabu, 01 Februari 2017

Legenda Siallagan dan Batu Kursi Persidangan


SIALLAGAN - Menurut penuturan para orangtua, Huta atau kampung adalah sebuah kelompok rumah yang berdiri di atas tanah satu kawasan yang dihuni oleh beberapa keluarga yang terikat dalam satu kerabat. Dalam masyarakat Batak, dimana marga merupakan sebuah identitas yang akan menjelaskan asal usul kekerabatannya, maka Huta atau kampung juga dibangun sebagai identitas tempat tinggal yang selanjutnya huta akan dinamai sebagai huta marga.
Batu persidangan di Huta Siallagan.
Demikian juga halnya marga Siallagan (turunan Raja Naiambaton garis keturunan dari Raja Isumbaon anak ke dua si Raja Batak) membangun sebuah huta/perkampungan yang dinamakan Huta Siallagan yang dibangun oleh keluarga marga Siallagan yang dikuasai oleh seorang pemimpin yaitu Raja Huta, dalam hal ini Raja Siallagan.

Pembangunan huta Siallagan, konon dilakukan secara gotong royong atas prakarsa raja huta yang pertama yakni Raja LAGA Siallagan dan selanjutnya diwariskan kepada keturunannya Raja Hendrik Siallagan dan seterusnya kepada keturunan raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Pembangunan huta yang menggunakan batu-batu besar disusun bertingkat menjadi sebuah tembok besar yang kelak menjadi benteng dan diatasnya ditanami bambu (bagi orang Batak, bambu memiliki multi guna sebagaimana suku bangsa Indonesia yang lain). Dahulu, untuk membangun rumah adat Batak, juga dilakukan dengan cara gotong royong mengangkut kayu dari hutan atau ladang keluarga, kemudian mendirikannya sesuai bentuk dan aturan pendirian rumah adat Batak.

Huta Siallagan berada di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, terletak 150 m dari pinggiran Danau Toba, Pulau Samosir bagian Timur, berjarak 3 km dari Tuktuksiadong (pusat perhotelan) atau 5 km dari huta/kampung Tomok (dermaga Ferry) sementara melalui danau berjarak 12 km dari kota Parapat. Luas huta Siallagan diperkirakan 2.400 m persegi, dengan sebuah pintu gerbang masuk dari sebelah Barat Daya dan pintu keluar dari arah Timur. Huta ini dikelilingi dengan tembok batu alam dengan ketinggian 1,5 – 2,00 meter yang disusun dengan rapi. Pada masa lampau sebagaimana disebutkan tadi, tembok dengan lebar 1-2 meter ini ditanami dengan bambu untuk menjaga huta dari gangguan binatang buas maupun penjahat. Dari pintu masuk terdapat patung batu besar yang diyakini sebagai penjaga dan mengusir roh jahat yang ingin masuk kedalam huta, patung ini disebut Pangulubalang. Dimasa lalu orang-orang yang tinggal di huta Siallagan termasuk Raja Siallagan masih menganut agama asli Batak (agama Parmalim).

RUMAH ADAT BATAK

Di huta Siallagan terdapat rumah adat tradisional Batak sebanyak 8 buah. Biasanya satu rumah dihuni lebih dari satu sampai empat keluarga (suami isteri dan anak). Rumah-rumah adat di huta ini masih bentuk asli dan diperkirakan berumur ratusan tahun, sesuai dengan perkembangan waktu sebagian bahannya misalnya dinding, tiang dan atap telah diganti/diperbaharui karena rumah adat asli dengan bahan bangunan dinding/lantai dari kayu tanpa paku dan atapnya bahan ijuk.

Bangunan rumah Batak berdiri diatas tiang-tiang yang kokoh sehingga terdapat ruangan bawah yang disebut “bara” biasanya digunakan untuk kandang hewan piaraan. Bara ini dikelilingi oleh tiang-tiang penyangga rumah yang satu sama lain dihubungkan dengan “ransang” yakni papan kayu tanpa paku Bagian tengah rumah Batak tidak mempunyai kamar, ruangannya terbuka namun penggunaan lantai ruangan memiliki aturan antara lain disebut ruma soding, ruma suhut dsb. Bagian atas tidak mempunyai plafon, hanya pada bagian depan dan belakang atas terdapat ruangan yang disebut “Parapara”.

Para-para di bagian depan biasanya dipergunakan untuk menyimpan benda-benda adat atau juga tempat alat musik tradisional disimpan, konon juga digunakan sebagai tempat yang aman untuk mengintip kondisi yang terjadi diluar rumah dalam huta. Para-para bagian belakang dipakai sebagai tempat menyimpan peralatan dapur dan bahan makanan persediaan. Bagian atap rumah Batak bebentuk kerucut dengan ujung bagian belakang lebih tinggi menjulang ke atas daripada ujung bagian depan (lihat gambar grafis rumah adat Batak).

Jika diperhatikan dari luar, bagian depan rumah adat Batak dihiasi ukiran khas Batak disebut Gorga yang terdiri dari 3 warna (putih, merah dan hitam) yang memiliki arti/makna tersendiri. Juga terdapat berbagai ornamen benda-benda khas antara lain seperti ornamen yang dinamakan Gaja Dompak, Singa-singa, Pane Nabolon dan Dila Paung. Menurut para orangtua, ornamen ini diyakini berfungsi untuk menangkal roh jahat yang mau masuk kedalam rumah tersebut dan menjaga penghuni rumah dari gangguan ilmu gaib atauyang menimbulkan hal buruk terhadap masyarakat di huta Siallagan.

Selain itu juga terdapat ornamen lambang payudara/buah dada wanita (Bahasa Batak: bagot atau panusuan atau situngkol bulusan), sebanyak 4 buah. Ornamen ini melambangkan kesuburan dan kekayaan, biasanya ditempatkan pada rumah Raja atau rumah orang dermawan, yang suka memberi bantuan bagi mereka yang kekurangan. (bandingkan : Pengertian Raja bagi masyarakat Batak).
Masuk ke dalam rumah adat Batak kita harus melalui tangga yang ditempatkan pada bagian tengah dan kita harus berhati-hati dan merunduk agar tidak terantuk pada kayu palang; maknanya bahwa kita sebagai tamu harus sopan, santun dan hormat mendatangi pemilik rumah. Tangga ini biasanya terdiri dari 3, 5 atau 7 anak tangga (dahulu, hitungan ganjil bagi rumah orang yang dihormati atau rumah Raja, sedang untuk rumah pembantu atau orang yang miskin).

Di dalam rumah (ruangan terbuka tanpa sekat-kamar) terdapat benda-benda peralatan rumah tangga sehari-hari seperti:

- Tataring (tungku) dan hudon tano (periuk tanah) ditempatkan ditengah ruangan sebagai tempat memasak makanan dan minuman bagi penghuni rumah atau tamu.
- Hassung (terbuat dari bambu yang panjang dan besar) digunakan untuk menampung dan mengangkat air dari mata air.
- Sapa (piring besar) tersebut dari kayu sebagai tempat makanan dihindangkan bagi seluruh anggota keluarga.
- Solub (terbuat dari bambu) sebagai tempat menyimpan makanan yang sudah dimasak, atau juga menjadi alat takaran beras.
- Peralatan dapur lainnya biasanya terdiri dari kayu dan batu seperti sendok nasi, lesung kecil dan tatakan.
Selain benda-benda tersebut, terdapat sebuah benda berbentuk empat persegi (seperti tampi) yang dibuat tergantung dibagian belakang atas ruangan, dahulu berfungsi sebagai tempat sesajen/ persembahan memohon berkat dan perlindungan dari roh nenek moyang dan Yang Maha Kuasa (mulajadi na bolon).

Diluar rumah/halaman, biasanya terdapat kursi-kursi batu tempat duduk, dan juga lesung (losung) yang digunakan untuk menumbuk padi atau beras untuk dimakan atau dijadikan tepung (itak) bahan membuat makanan tradisi Batak untuk acara adat atau sesajen, makanan ini yang disebut Itak Puti, Itak Gurgur dan Nahinopingan/ Nahinindatni andalu (bahan terdiri dari tepung beras, gula aren, kelapa dan garam secukupnya).

HAU HABONARAN

Hau (kayu) yang tumbuh di tengah huta Siallagan disebut Hau Habonaran (pohon kebenaran, pohon keadilan) yang pada awalnya disebut sebagai Hau Hangoluan (Pohon kehidupan). Disebut demikian karena pohon tersebut ditanam sebelum membangun Huta, ketika itu para tetua masyarakat berdoa (martonggo) bila kelak pohon yang ditanam tumbuh subur, itu berarti ada kehidupan ditempat tersebut yang akan dijadikan huta/perkampungan. Dahulu, pada hari-hari tertentu, Raja dan para tetua huta memberikan persembahan/sesajen di pohon tersebut yang dipercayai bahwa akan mendapatkan berkah yang mereka inginkan.

Kini Hau Habonaran masih berdiri kokoh dengan umur diperkirakan berumur ratusan tahun, namun keluarga Raja selalu memeliharanya sesuai dengan kondisi lingkungan (tidak ditebang)

BATU KURSI (PERSIDANGAN)

Mestinya dipahami bahwa suku Batak (5 sub etnis) adalah etnis bangsa Indonesia yang memiliki ciri tersendiri bahkan dianggap sebagai suku bangsa yang spesifik di dunia karena memiliki daerah asal-usul yang jelas, bahasa dan aksara, struktur kekerabatan, adat-istiadat dan hukum serta gaya/pola kehidupan sosial bahkan agama tersendiri (dahulu agama Mulajadi atau mungkin Parmalim). Ini berarti orang-orang Batak sekarang tidak menganut hanya satu agama tetapi agama-agama yang ada di Indonesia).

Batu Sidang

Akan halnya adat-istiadat dan hukum (adat) Batak merupakan peninggalan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun untuk mengatur atau menata kehidupan dan pergaulan orang Batak didalam (bona pasogit) atau diluar daerah asalnya (parserahan).

Batu kursi (persidangan dan eksekusi) adalah salah satu bukti peninggalan sejarah terdapatnya hukum Batak di huta Siallagan. Batu kursi di huta Siallagan ditempatkan pada dua lokasi sesuai dengan aturan dan fungsinya yang berbeda.

Kelompok Batu kursi pertama, dibawah pohon kayu Habonaran, ditempatkan di tengah huta Siallagan yang dipergunakan sebagai tempat rapat-pertemuan Raja dan pengetua adat untuk membicarakan berbagai peristiwa kehidupan warga di huta Siallagan dan sekitarnya, juga menjadi tempat persidangan atau tempat mengadili sebuah perkara kejahatan.

Menurut penuturan para orangtua, bahwa batu kursi pertama ini terdiri dari Kursi Raja dan permaisuri, Kursi Para Tetua Adat, Kursi Raja dari Huta/kampung Tetangga dan Para undangan, juga Datu/Pemilik Ilmu Kebathinan. Ditempat inilah diputuskan dan ditetapkan peraturan “pemerintahan, kemasyarakatan” dan hukum yang tegas bagi yang melanggarnya. Artinya Raja Huta Siallagan tidaklah melakukan sesuatu dengan dasar “kekuasaan” semata, tetapi dilakukan secara musyawarah, mendengarkan pendapat dan usul serta pertimbangan dari para tetua adat yang diundang hadir untuk kemudian menetapkan keputusan secara jujur, adil dan bijaksana.

Konon, Batu Kursi pertama ini selain sosialisasi peraturan hukum adat-istiadat, juga dipergunakan untuk menetapkan hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindakan kriminal (pembunuhan, pencurian), pelecehan/pemerkosaan dan sebagainya. Setelah melalui proses investigasi, interogasi kepada terdakwa, maka Para Pengetua Adat dan Raja dari huta tetangga memberikan usul jenis hukuman yang harus diiberikan kepada terdakwa dan oleh Raja Siallagan (dikenal sebagai Raja yang adil dan tegas) ditetapkan menurut peraturan “kerajaan” Siallagan yakni Hukuman Denda, Hukum Penjara (dihukum pasung) dan Hukum Mati (hukum pancung/dibunuh). Hukum denda biasanya bagi seseorang yang melakukan kesalahan ; Hukum Penjara ditetapkan bagi seseorang yang melakukan kejahatan ringan seperti pencuri, berkelahi, memfitnah; sedang Hukum Mati (dipancung) merupakan hukuman yang ditetapkan bagi seseorang yang berbuat kejahatan berat seperti Pembunuh, Pemerkosa.

Demikianlah halnya, seseorang yang didakwa melakukan kejahatan berat melalui persidangan Raja-raja ditetapkan hukuman mati (hukuman pancung), maka Raja Siallagan terlebih dahulu menanyakan kepada Datu tentang hari yang tepat dalam pelaksanaan eksekusi mati, pencarian hari eksekusi ini dilakukan melalui Parhalaan (kalender Batak). Pada hari yang ditentukan Datu dan disetujui Raja, terdakwa/penjahat berat yang telah ditahan dan tidak diberi makan kemudian dibawah ke tempat eksekusi hukuman (pancung) yakni ke kelompok batu kursi kedua, diluar kawasan batu kursi pertama.

Kelompok Batu Kursi kedua, ini terletak dibagian luar dari huta Siallagan namun masih sekitar huta. Disini terdapat juga Kursi untuk Raja, para Penasehat Raja dan tokoh adat, termasuk masyarakat yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman mati. Penjahat dibawa oleh hulubalang raja ke tempat eksekusi dengan mata tertutup menggunakan Ulos, Raja dan para penasehat raja serta masyarakat telah berkumpul, kemudian penjahat ditempatkan diatas meja batu besar, bajunya ditanggalkan.

Sebelum eksekusi dilaksanakan, atas perintah Raja, Eksekutor yang juga Datu (memiliki ilmu gaib) menanyakan keinginan permintaan terakhir dari sang penjahat. Bila tidak ada lagi, selanjutnya eksekutor menanggalkan semua pakaian dari tubuh penjahat dan mengikat tangannya ke belakang. Menurut yang empunya cerita, ditanggalkannya pakaian penjahat adalah untuk mengetahui dan menghilangkan bilamana kekuatan gaib yang dimiliki oleh penjahat.

Kemudian tubuh penjahat disayat dengan pisau tajam, sampai darah keluar dari tubuhnya. Bila sang penjahat yang disayat tidak juga mengeluarkan darah, maka penjahat dibuat telanjang dan diletakkan diatas meja batu, kemudian disayat-sayat kembali bahkan air jeruk purut diteteskan kedalam luka sayatan, sehingga eksekutor yakin sang penjahat tidak lagi memiliki kekuatan gaib di tubuhnya. Eksekutor harus memastikan bahwa sang penjahat sungguh-sungguh tidak memiliki kekuatan apapun, jauh dari segala sesuatu yang berbau kekuatan magis.

Selanjutnya tubuh sang penjahat diangkat dan diletakkan ke atas batu pancungan telungkup dengan posisi leher persis berada disisi batu, sehingga kelak bila dilakukan eksekusi, sekali tebas kepala terpisah dari tubuhnya. Selanjutnya Sang Datu, dengan membacakan mantra-mantra kemudian mengambil pedang yang sudah tersedia, dengan sekali tebas, kepala penjahat dipenggal hingga terpisah dari tubuhnya. Untuk mengetahui apakah benar penjahat sudah mati, sang Datu kemudian menancapkan kayu “Tunggal Panaluan” ke jantung penjahat, lalu jantung dan hati dikeluarkan dari tubuh penjahat dan darahnya ditampung dengan cawan. Hati dan jantung penjahat dicincang dan kemudian dimakan oleh Raja dan semua yang hadir, darahnya juga diminum bersama.

Masih menurut cerita, Bagian Kepala dibungkus dan dikubur ditempat yang jauh dari huta Siallagan, biasanya tempat yang tidak pernah disentuh oleh manusia, sementara bagian badannya dibuang ke danau. Menurut kepercayaan mereka dahulu, bahwa memakan bagian tubuh penjahat adalah menambah kekuatan dari mereka yang memakannya. Percaya atau tidak, ini hanya cerita yang terjadi masa dulu, hingga diawal abad ke 19. Dalam suasana seperti itu Sang Raja memerintahkan agar masyarakat tidak boleh menyentuh air danau selama satu sampai dua minggu, karena air masih najis dan berisi setan.

Beberapa waktu kemudian zaman kegelapan berakhir, hingga masuknya agama Kristen ke tanah Batak oleh Pendeta Jerman Dr.I.L.Nommensen, penerapan hukuman pancung seperti diceritakan tidak lagi dilaksanakan bahkan sudah dihapuskan termasuk ilmu-ilmu gaib/kebathinan semakin ditinggalkan, karena masyarakat sudah memeluk Agama, dan bila terjadi kejahatan dan kriminal, selain mempergunakan hukum adat juga dipergunakan hukum Negara (hukum pidana, hukum perdata)

Bilamana cerita ini dimasa kini kemudian dianggap sebagai sebuah cerita yang menimbulkan opini bahwa orang Batak adalah kanibalisme, boleh saja demikian karena zaman dahulu ratusan tahun yang lalu kehidupan primitif Batak sudah pasti sangat berbeda dengan Batak zaman modern sekarang ini. Namun cerita itu tidak perlu ditutup-tutupi agar kedepan dapat ditarik hikmah, makna dan arti positif masa lalu. Sejarah, adalah masa lalu yang dijadikan cermin bagi masa depan.

Sebagai tambahan informasi, di bagian utara Huta Siallagan, yakni di Parhapuran terdapat juga batu kursi yang dipergunakan untuk tempat pertemuan dari turunan marga Siallagan yang lain. Lokasi ini sudah direhabilitasi oleh Pemkab Samosir dan menjadi salah satu objek kunjungan wisatawan.

Selain objek budaya, huta Siallagan berada pada lintasan jalan antara huta Ambarita menuju Tuktuksiadong, dan bila melalui kapal penumpang umum melalui pelabuhan/dermaga kapal dan gapura-pintu gerbang yang telah dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Samosir sebagai tambahan fasilitas akses menuju huta Siallagan Pulau Samosir.

(Diceritakan ulang Drs Melani Butarbutar, sumber: internet)

2 komentar:

  1. Informasinya sangat membantu,
    Trrimakasih buat penulis

    BalasHapus
  2. Kekeliruan yang sangat sempurna untuk diwariskan ke generasi berikutnya,,,,dn akn mnjdi bban yang tnpa kta sdari kta ltakkan d pundak gnersi brkutnya.

    BalasHapus