Sabtu, 27 Mei 2017

Merekam Jejak Raja Batak di Huta Siallagan


RS - Bermula dengan menaiki kapal dari pelabuhan di Kota Parapat menuju rute Pulau Samosir. Biasanya kapal-kapal tersebut akan berlabuh di Tomok sebagai pusat destinasi wisata kebanyakan wisatawan. Namun, kali ini pengunjung akan langsung diajak ke sebuah Desa bernama Siallagan. Tempat yang menyimpan sejarah panjang yang akan membangkitkan energi petualang. Cukup merogoh kocek sebesar Rp 25.000,- kita akan berlabuh di desa ini dengan disambut warga-warga yang ramah dan sebuah patung bertuliskan aksara Batak sebagai tanda selamat datang di Huta Siallagan.

Huta Siallagan.
Huta Siallagan terkenal dengan situs kuno yang menjadi daya pikat wisatawan. Situs kuno tersebut adalah Batu Persidangan. Sebuah batu yang menjadi saksi bisu persidangan untuk orang yang berbuat kejahatan. Situs kuno ini terdiri dari susunan batu-batu yang terdiri dari sembilan kursi yang terbuat dari batu, ada tempat duduk untuk raja, dukun, dan untuk orang yang melakukan kejahatan. Tindak kejahatan tersebut bisa berupa mencuri, membunuh, memperkosa, dan menjadi mata-mata musuh. “Tempat duduk raja adalah yang paling besar, dan yang kecil untuk orang yang bersalah” tutur Kristian Siallagan selaku tour guide.

Kepada yang bersalah akan dikenai sanksi berupa hukum pancung. Terbayang di benak kita bahwa hukum pancung ini akan membuat seluruh rakyat pada waktu itu akan berpikir dua kali dalam bertindak kejahatan. Namun, seperti yang dijelaskan Kristian Siallagan tidak semua perbuatan akan dihukum pancung. Ada perbuatan-perbuatan tertentu seperti membunuh, memperkosa, mata mata musuh itulah yang akan dikenai hukum pancung.

Sesudah itu pelaku akan dikurung di bawah Istana raja, yaitu Rumah Bolon, keadaan tersangka atau pelaku akan diperlakukan sama seperti binatang. Sebab Raja menganggap bahwa pelaku kejahatan adalah binatang, yang harus ditempatkan di bawah rumah Raja. Sama seperti hewan ternak pada saat itu. Dalam menentukan hari pemancungan, dukun raja yang akan bertindak menentukan hari pemancungan tersebut. Dikenal namanya Manitiari atau primbon Suku Batak yang menentukannya.

Setelah tiba hari pemancungan pelaku kejahatan akan ditempatkan di sebuah meja batu dengan mata tertutup kain ulos. Selanjutnya dukun akan mencoba membuktikan apakah pelaku mempunyai ilmu kebal atau tidak. Sebab, pada saat itu kebanyakan orang mempunyai ilmu kebal yang melindungi dirinya. Untuk membuktikan apakah si pelaku kejahatan mempunyai ilmu kebal atau tidak dukun akan memerintahkan seorang algojo untuk mengiriskan pisau kecil ke badan pelaku, apabila tidak mengeluarkan darah, artinya pelaku mempunyai ilmu kebal dan harus dikeluarkan. Dukun akan menggunakan tongkat saktinya untuk mengeluarkan ilmu kebal dari diri pelaku dengan cara mengelilinginya dengan membaca mantra-mantra. “Pelaku akan disayat-sayat dan diberi siraman air jeruk nipis, baru kemudian di bawah ke tempat eksekusiz” kata Kristian. Adalah sebuah batu berukuran lebar 1 meter dengan tinggi lebih kurang 20 cm. Pada bagian atas terlihat cekung sebagai tempat menyangga leher yang akan dieksekusi oleh para algojo.

Setelah prosesi pemancungan selesai, badan dan kepala yang sudah terpisah akan dibedakan cara perlakuannya. Kepala yang sudah terpisah dari badan akan diletakkan di meja berbentuk bulat, sementara badannya akan diletak di meja berbentuk persegi. Bagian tubuh yang telah dipotong-potong seperti jantung dan hati akan diikat dan diberi siraman air jeruk nipis sebanyak-banyaknya. Jantung akan diberikan kepada Raja, dukun, para petuah kampung untuk dimakan.

Kemudian, apa yang akan terjadi dengan badannya ? Kristian menjelaskan bahwa badan pelaku akan dibuang ke Danau Toba selama tujuh hari tujuh malam. “Selama itu, para penduduk dilarang melakukan aktivitas di dalam Danau. Kepalanya akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan, sebagai pemberi peringatan kepada raja lain atau rakyat agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke hutan dibalik kampung, dan selanjutnya warga akan dilarang beraktifitas di hutan selama 3 hari.” Tegasnya.

Memang begitu sejarah pemancungan di Huta Siallagan. Dibalik kisah orang Batak makan orang memang benar adanya. “namun, tidak usah khawatir, saya lebih suka makan daging ayam, daripada makan daging manusia” kelakar Kristian di sela-sela penjelasan dengan wisatawan.

Huta Siallagan merupakan sekeping kabar baik dalam pariwisata Indonesia yang tentu saja dapat kita nikmati. Pelajaran dan hikmah yang diberikan destinasi yang kaya nilai nilai tradisional ini mengingatkan kepada kita bahwa harus mawas diri selalu menjaga prilaku kepada lingkungan. Bisa kita pikirkan betapa mengerikannya Huta Siallagan jika sampai saat ini masih memelihara dan melaksanakan ritual seperti yang telah dikisahkan di atas. Mari sebarkan kabar baik ini, agar pariwisata Indonesia semakin dikenal dan diminati baik oleh masyarakat Indonesia sendiri maupun masyarakat mancanegara. (Muhammad Hisyam Syahdani/int)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar