Minggu, 28 Mei 2017

Huta Siallagan, antara Hukum dan Stigma Kanibalisme


RS - Batu kursi persidangan di Huta Siallagan akhir-akhir ini menjadi salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi apabila menapakkan kaki ke Pulau Samosir. Selain lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Tomok dan Tuk-Tuk, Batu Persidangan menyimpan nilai budaya salah satu kerajaan marga batak di Pulau Samosir yang tentu saja sayang untuk dilewatkan. Sekitar pertengahan 2015, saya berkesempatan mengunjungi Pulau Samosir. Tentu saja tidak lupa menyempatkan diri mengunjungi Huta Siallagan yang konon katanya jadi bukti telah berjalannya mekanisme hukum sekaligus adanya praktek kanibalisme suku batak pada masa lampau.

Batu Kursi Persdiangan Huta Siallagan.
Huta Siallagan secara administratif terletak di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo. Berjarak sekitar 5 km dari Tomok (terminal ferry penyebrangan). Batu persidangan terletak dalam satu komplek pemukiman, merupakan peninggalan Kerajaan Siallagan zaman dulu. Raja Siallagan menurut penuturan para orang tua kampung, merupakan raja yang tegas dan bijaksana sehingga menerapkan aturan-aturan yang ketat bagi setiap rakyatnya. Barang siapa melanggar aturan maka akan di sidang di lokasi batu persidangan. Rapat ini dihelat di bawah pohon suci yang disebut pohon habonaran.

Fenomena yang berlangsung di Huta Siallagan saat itu menjadi bukti bahwa hukum sudah hidup ditengah-tengah masyarakat tradisional. Dalam perspektif antropologi, hukum bukan melulu berbentuk peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).

Namun demikian, Radcliffe-Brown menyatakan hukum sesungguhnya hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan Negara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti Negara terdapat pranata-pranata hukum. Dalam masyarakat tradisional, pengendalian sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan. Meskipun kemudian Pendapat R.Brown mendapat bantahan keras dari B.Malinowski. Ia mengatakan hukum sebagai sarana pengendalian sosial terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, tetapi karena adanya prinsip timbal-balik dan prinsip publisitas.

Kembali ke Huta Siallagan, batu persidangan terdiri dari Kursi Raja dan permaisuri, Kursi Para Tetua Adat, Kursi Raja dari Huta Tetangga, undangan, juga Datu/Pemilik Ilmu Kebathinan. Ditempat inilah diputuskan dan ditetapkan berbagai peraturan kerajaan dan sanksi hukum bagi yang melanggarnya. Raja Huta Siallagan memutuskan kebijakan secara musyawarah, mendengarkan pendapat dan usul serta pertimbangan dari para tetua adat yang diundang. Mereka hadir untuk kemudian menetapkan keputusan bersama secara jujur, adil dan bijaksana. Hukuman umumnya berupa denda, hukum penjara (pasung) dan hukum mati (hukum pancung/dibunuh) tergantung derajat kesalahannya.

Ada dua buah batu persidangan. Yang pertama untuk para pelaku kriminal seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan atau pelanggar aturan adat yang telah ditentukan. Batu persidangan kedua, letaknya dibelakang batu persidangan pertama. Berjarak sekitar 100 M. Di batu persidangan kedua ini, orang-orang yang dihukum adalah mereka yang melakukan kesalahan berat. Umumnya adalah mereka-mereka yang memiliki kekuatan gaib namun bernit buruk atau disalahgunakan untuk melakukan kejahatan. Disinilah para terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah di eksekusi dengan hukuman pancung. Sebelum itu, para datu (orang pintar) melakukan ritual guna mencabut kesaktian si terdakwa. Kemudian kepala terdakwa di penggal, dan darahnya yang mengalir di tampung dalam cawan untuk di minum raja. Tidak hanya itu, hati si terdakwa juga di ambil dan dimakan oleh Raja Siallagan. Praktek ini barangkali yang mengakibatkan munculnya stigma kanibalisme bagi orang batak.

Proses memakan hati dan meminum darah sesungguhnya hanya simbolisasi yang bermakna Raja siallagan telah berhasil mengalahkan si pemilik kekuatan gaib. Bahkan kekuatan tersebut sudah diminum dan dimakan sehingga kesaktian Raja Siallagan menjadi bertambah. Artinya kanibalisme bukan jadi kebutuhan atau konsumsi sehari-hari. Itu hanya merupakan ritual dalam rangka menambah kesaktian Sang Raja Siallagan. (sumber: aminio.blogspot.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar